Profil Pahlawan

CUT  NYAK MEUTIA

Cut Nyak Meutia lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, pada tahun 1870 adalah pahlawan nasional Indonesia dari Aceh.
Anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Deaud Pirak dengan Cut Jah. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirok.
Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia (berarti Mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya.
Sebagaimana kebiasaaan rakyat Aceh, sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama islam terutama pendidikan yang mengajarkan tentang kebesaran islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama islam dan bangsanya.
Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namun Teuku Chik Bintara mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan kompeni (Belanda).
Pertentangan-pertentangan pendirian yang semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan Teuku Chik Bintara. Di dalam jiwanya telah terpatri semangat fisabilillah sehingga sikap ati kepada belanda selalu mengiringinya. Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama. Ia bercerai kemudian menikah dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Cut Meutia telah mendapat pria yang menjadi idamannya. Seirama dan secita-cita dalam derap langkah memerangi kompeni (Belanda).

*Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong
Awal pergerakannya dimulai tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang). Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak-porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan kaum muslimin. Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang  dan mundur serta menggunakan prajurit untuk memata-matai gerak-gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong-Cut Meutia mencegat pasukan elanda yang berpatroli di daerah simpang Ulim Blang Nie. Selain itu pasukan Chik Tunong-Cut Meutia sering melakukan gerakan sabotase-sabotase di jalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivak-bivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di kota Lhoksumawe menjadi sering terputus dan terganggu.
Pada tanggal 5 oktober 1903 Teuku Chik Muhammad-Cuk Meutia beserta pengikutnya turun dari gunung. Atas persetujuan komandan datasemen Belanda di Lhoksumawe Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia dan pasukannya dibenarkan menetap di Kereutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari 1905).
Suatu hari di bulan Maret 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe diputuskan Teuku Chik Tunong mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah menjadi hukuman tembak mati di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geuduong, tidak jauh dari kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe, seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya. Kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah “sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan”

*Perjuangan Cut Meutia bersama Pang Nanggroe.
Dalam fase berikutnya, perjuangan Cut Meutia dalam menentang penjajah Belanda tidak terputus dan terus berlanjut. Sesuai dengan amanah dari suaminya, Teuku Chik Tunong, perjuangan terus dilanjutkan dan ia bersedia menerima Pang Nanggroe sebagai suami dan sekaligus sebagai pendamping dalam perjuangan.
Pada tanggal 6 mei 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak-bivak yang mengawal para pekerja kereta api. Dan hasilnya beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka bersama itu pula dapat direbut sepuluh pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi. Pada tanggal 15 Juni 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia menggempur kembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan, delapan orang luka-luka dan kehilangan sepucuk senjata.
Taktik perjuangan perlawanan serta strategi penyerbuan yang dilakukan Pang Nanggroe-Cut Meutia selanjutnya adalah dengan taktik tipu daya dan menyebarkan isu. Isu yang disebarkan seolah-olah pasukan muslimin akan mengadakan pesta (kenduri). Tempat jebakan dipilih adalah sebuah rumah tua yang direkayasa sedemikia rupa dimana setiap tiang rumah tersebut telah dipotong habis dengan gergaji, tetapi bangunan tersebut tetap tampak kokoh agar dapat mengelabuhi penjajah. Setelah mendengar informasi tersebut, pasukan Belanda melakukan penyergapan tanpa ada rasa curiga, terlebih lagi di dalam rumah tersebut terdapat makanan yang menggiurkan. Setelah pasukan Belanda masuk ke dalam rumah, pasukan muslimin yang bersembunyi di belakang rumah langsung memotong tali yang telah disiapkan. Akhirnya robohlah tiang-tiang tersebut, kemudian tiang-tiang tersebut menghimpit dan menimpa pasukan Belanda. Selanjutnya pasukan muslimin dengan pedang rencong menghunus pasukan belanda yang berada diluar. Dan akhirnya pasukan belanda dapat dikalahkan.
Selain itu, penyerbuan dan pencegatan yang dilakukan pasukan Pang Nanggroe-Cut Meeutia adalah penghancuran jalur logistik pasukan Belanda yang dikirim dari Lhoksukon menuju Panton Labu pada jalur kereta api. Pelaksanaannya adalah dengan membongkar rel-rel kereta api di depan tanjakan dengan tujuan untuk menghambat jalannya kereta api serta mempermudah pasukan muslimin untuk menyerbu pasukan Belanda. Pada petengahan tahun 1909, pihak Belanda mengetahui pusat pertahanan Cut Meutia melalui orang kampung yang menjadi tawanan. Pada subuh dini hari, terjadilah bentrokan senjata yang hebat antara kaum muslimin dengan pasukan Belanda. Atas berkat pertolongan Allah dan kegigihan para pejuang dalam pertempuran tersebut, banyak pasukan Belanda yang mati. Untuk mengelabuhi Belanda, pusat  pertahanan akhirnya dipindahkan ke daerah yang berbeda-beda tiap waktu.
Selanjutnya pada bulan maret 1910 , di rawa-rawa Jambo Aye, terjadi lagi bentrokan dan pertempuran senjata yang sengit, kaum muslimin melakukan taktik serang dan mudur. Penyerangan pasukan yang sedang penasaran terus dilakukan dan pada tanggal 30 Juli 1910 terjadi bentrokan senjata di daerah Bukit Hague  dan Paya Surila pada bulan Agustus 1910, penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya, dalam bentrokan ini, banyak pejuang muslim teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia dan seorang Ulama Syahid, sedangkan Pang Nanggroe-Cut Meutia, anaknya Teuku Raja Sabi, dan beberapa pejuang muslimin selamat dan dapat menghindari diri dari kepungan pasukan Belanda.
Tanggal 25 September 1910 di daerah Rawa dekat Paya Cilem, tetaptnya di Bukit Hague terjadi penyergapan dan pertempuran dahsyat, pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia mengalami pukulan hebat atas penyerangan yang dilakukan dengan gencar oleh pihak Belanda pada pertempuran inilah Pan Nanggroe syahid karena terkena tembakan peluru Belanda, sedangkan Cut Meutia dan anaknya berhasil lolos. Pan Nanggroe menyampaikan amanat pada anaknya, kemudian anaknya pergi mencari ibunya.

*Cut Meutia memimpin pergerakan
Cut meutia tetap melakukan perjuangan dan perlawanan bersenjata bersama-sama sahabat setia perjuang muslimin dan terus bergerilya naik gunung turun gunung melakukan penyerangan dan penyergapan. Atas kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan pegerakan diserahkan kepada cut Meutia. Jiwa semangat dan kearifannya mucul tatkala ia diminta untuk memimpin pergerakan.
Pada tanggal 22 Oktober 1910 pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat tanggal 23 Oktober 1910 pengejaran diteruskan kembali perjuangan Cut Meutia beserta muslim lainnya semakin sulit, basis perjuangan terus berpindah–pindah dari daerah ke daerah yang bergunung dan hutan belantara. Akan tetapi perlu dicatat bahwa semangat persatuan dan kebersamaan yang mereka tunjukkan cukup memberikan andil dalam pergerakan mereka. Semangat pantang menyerah lebih baik mati syahid daripada turun gunung untuk menyerah membuat pengejaran oleh pasukan Belanda cukup melelahkan dan merisaukan karena pasukan Belanda tidak dapat menemukan dan menghancurkan mereka. Pada tanggal 25 Oktober 1910 pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang airnya dangkal, terjadilah bentrokan dahsyat posisi Cut Meutia yang kurang menguntungkan dengan sikap gagah berani dia tampil ke depan dengan rencong terhunus maju bertempur disertai dengan semangat dan jiwa kesatria. Sebagai srikandi Aceh, ia maju seperti banteng terluka dengan pekikan Allahu Akbar, beliau iringi penyerangan. Dalam pertempuran inilah Cut Meutia syahid sebagai kesuma bangsa bersama-sama dengan beberapa pejuang muslimin lainnya serta para ulama seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teuku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh.
Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No. 107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.